Sabtu, 21 Maret 2015

Tanpamu Ibu



Tanpamu Ibu.

Bu, saat aku meresa dewasa, aku pikir aku tak lagi membutuhkanmu.
Sehingga aku memutuskan untuk pergi menjauh darimu.

Bu, aku pikir setelah aku merasa mampu membalas semua jasamu aku akan bahagia.
Bisa memberikan apa yang Ibu minta.

Bu, aku pikir tak mendengar nasehat darimu aku akan tetap baik-baik saja. Terkadang aku merasa lelah saat suara tegasmu menghantam pemikiran yak tak sejalan denganku.

Bu setelah itu, yang Aku rasakan hanya kesengsaraan. Tanpa mu aku seperti pohon yang tumbang terhantam angin kencang tak ada yang merangkulku tak ada yang memelukku hingga aku tertidur pulas seperti waktu itu di pangkuanmu.

Bu, Aku baru tahu bahwa kedewasaan bukan kesempurnaan tapi hanya pangkat sebagai orang sabar.

Bukan berarti kedawasaan tak membutuhkan kasihmu Bu.

Bu, sebesar apapun kesalahanku, tak menjadikanmu murka terhadapku.
Kasih sayangmu masih tetap seperti sediakala.

Peluk Aku Bu, ku mohon aku tak bisa jauh darimu .

Selasa, 30 Desember 2014

Hujan 18 Juni Menjadi Saksi



Hujan 18 Juni Menjadi Saksi


Dik,  jika saja aku memiliki sayap, akan ku ajak kau terbang, bila perlu kuberikan sayap itu padamu.
Aku hanya memiliki dua tangan untuk  meminta padaNya  agar langit tak lagi gelap hingga menutupi senyummu.
Hujan semalam yang berubah menjadi tetesan embun pagi menyambut kedatangan mentari. Ponselku berdering, oh aku hampir lupa hari ini tanggal 18 juni. Doa serta ucapan selamat tak henti-hentinya terucap pada pesan singkat yang memenuhi memory ponselku. Ini adalah hari di mana berkurangnya usiaku. Namun tampak terlihat seorang gadis sedang menagis.
Ku hampiri lalu usap air matanya. Wajahnya pucat matanya sembab tak kudengar ucapan ataupun do’a darinya yang ku dengar hanya tangis terisak-isak, 18 juni tahun lalu dia yang paling sibuk mencari kado dan memberi kejutan untukku. Ku lihat awan dari balik jendela kamarnya mentari mulai terhalang oleh awan hitam tebal rupanya jam masih menunjukan pukul 7 pagi. Ada apa dengan mentari tak ingin berlama-lama berbincang dengan Bumi? Tangisnya masih terisak-isak. Gadis ini memelukku dengan erat tangisnya tak bisa meluluhkan hati dan prinsip Ayah yang keras. Ya semalam terjadi perdebatan hebat gadis yang menangis terisak-isak itu adalah Adik perempuan ku Amalia.  Suara Ayah dapat mengalahkan suara derasnya hujan.
“Ayah tidak mahu tahu. Kamu harus kuliah di Universitas Negeri”  adikku bersikukuh dengan keinginannya memasuki Universitas dambaannya sejak SMA namun kerasnya Ayah tak mampu dicegah dengan musyawarah. Ibu hanya terdiam pasrah apapun keputusannya.
Hujan semakin deras. Malam mulai larut dinginpun datang teras menusuk tubuh, teh hangat buatan ibu mendadak menjadi dingin seperti es.
“Ayah akan berangkatkan kamu ke semarang untuk kuliah di sana bersama adik sepupumu”  tetesan air mata gadis pemilik kulit hitam manis itu mulai deras seperti hujan di luar sana.
ayah menatapku, aku hanya tertunduk tak kuasa membaca sorot matanya tubuhku mulai menggigil entah karena dinginnya hujan atau karena tatapan ayah.
 Aku terus memberikannya pengertian bahwa pilihan ayah adalah yang terbaik untuknya kelak. Ia tetap tak terima dengan keputusan ayah.
“ Aku tidak ingin ke Semarang Kak,  Aku hanya ingin mengembangkan bakat dan hobbyku itu saja” ungkapnya dengan nada tegas namun dalam keadaan terisak.
“Aku tidak ingin ke Semarang”  ungkapnya sekali lagi.
Aku tahu hobimu memasak dan Aku tahu keinginanmu menjadi Chef sudah melekat. Maafkan Aku dik, Aku tak bisa berbuat apa-apa. Andai kau tahu bahwa Ayah mencintaimu.
“Baiklah Dik, jika Kamu tidak ingin ke Semarang satu-satu jalan kita harus mencari Universitas Negeri di Bandung”. untuk ayah yang terpenting Universitas Negeri. Beberapa Universitas Negeri Bandung sudah menutup penerimaan Mahasiswa Baru .  Awan hitam tebal menjadi pemeran utama rupanya pagi ini cahaya mentari perlahan tersingkir. Kuputar otak hingga urat syaraf di kepala terasa hampir putus,  Allah sudah memberi petunjuk atas Do’aku, mengingatkanku pada kawan semasa SMA ia mahasiswa di salah satu Unversitas Negeri bandung. Ah dingin mulai menghampiri  padahal ini baru jam 9 pagi tapi terasa seperti dingin di malam hari. Mungkin hujan akan turun pagi ini  dan 18 juniku akan di temani olehnya...tak mengapa yang ku tahu hujan adalah berkah dan hujan adalah RahmatNya
     Kini usiaku bukan kanak-kanak lagi yang bisa berlari-lari dalam rintik atau derasnya hujan, menjadikannya sahabat bermain tak takut dengan rasa dingin yang  menggigil. Masa itu telah berlalu kini,  setiap hujan datang aku bersembunyi dibalik selimut dan mantel yang tebal dan hanya bisa memandangnya di balik jendela tanpa ada cerita. 18 juni ini aku akan kembali membuat cerita dengan rintikan hujan  yang mulai membasahi perjalanan ku dan adik perempuanku. Langkah kami tak seperti biasanya kini yang kami tuju bukan taman atau tempat-tempat liburan lainnya. Namun sebuah Universitas Negeri yang akan kami ikhtiari... rintik hujannya seakan menyapa kami adikku Amalia sudah mengerti dengan keputusan ayah walau tidak sehati dengannya rasa ikhlas yang akan ia jalani nanti. Bismillah
     Hujan semakin lebat.. laju motorpun terhenti tepat di depan kedai teh dan kopi si ibu tua yang sudah banyak dikerumuni oleh mereka yang berteduh sejak tadi. Ibu tua itu menawarkan teh hangat pada kami, 2 gelas teh hangat di buatnya.
“Kita pulang atau lanjutkan saja?” tanya gadis yang sudah mulai belajar ikhlas menerima keadaan.
“Lanjutkan hingga hujan usai” kawan semasa SMAku sudah menunggu sejak tadi. Beruntung aku tepat waktu saat menghubunginya Ia menjadi panita menerimaan Mahasiswa Baru syarat dan ketentuan sudah ia berikan padaku tersisa 3 hari kesempatan itu. tidak ada perpanjangan waktu lantas jika tidak segera maka kesempatan itu akan jatuh pada orang lain yang berjuang saat hujan datang dan saat itu juga kami pergi untuk menemuinya.
Ku  genggam tangan adikku yang sudah membeku  ku usap lalu ku tiupi. Ada do’a yang ku ucapkan bersamaan air hujan yang mengelir membasihi rerumputan dan daun-daun rindang. Tak nampak senyum pada gadis ini hanya kabut tebal yang terlihat dari wajahnya... Ia bersandar pada pundakku entah apa yang ia pikirkan? Aku hanya berharap ada keajaiban datang , mendatangkan senyum pada wajah manisnya.
 Tangannya menyentuh air hujan seperti sudah berkawan sejak lama, ia menarik tanganku untuk melakukan hal yang sama  wajahnya menengadah matanya terpejam entah harapan apa yang ia katakan pada butiran air yang ku yakini sebagai RahmatNya. Senyumnya sudah mulai terlihat seperti pelangi diantara reruntuhan hujan.  Usiaku kembali pada 12 tahun silam berlari-lari diatara ribuan hujan hingga canda gurau tercipta dengan gadis pemilik senyuman manis. Beberapa pasang mata tertuju pada kami. Dua orang perempuan kakak beradik menari-nari dengan hujan pada 18 juni. Oh ini kenangan terindah dan kado istimewa di hari berkurangnya usiaku.
Hujan pada  18  juni ini menjadi saksi, saksi perjuangan kami . Dik, Aku menaruh harapan besar padamu agar kelak jika kau di terima menjadi mahasiswa di Universitas Negeri ini Kau bisa membuktikan pada ayah dan ibu bahwa Kau bisa mewujudkan cita-citamu. Tanamkan ikhlas pada hatimu meski sulit aku yakin kau bisa melewatinya.
1 bulan berlalu kado istimewaku telah terbungkus rapi dengan cerita hujan pada delapan belas juni lalu. Berita gembira telah sampai padaku Amalia Nurhidayatus solihah Diterima pada Fakultas Manajemen Ilmu Sosial dan Politik surat  pemberitahuan itu telah ku terima. Ucap syukurku disetiap hela nafas padaNya Yang Maha pengasih dan Maha Penyayang. ayah terlihat gembira pendaftaran di Semarang segera di batalkan olehnya.  
Hujan yang mengiringi langkahku dan langkahmu adalah sahabat, sahabat yang mengerti tentang apa yang memang harus kita jalani nanti. Tak perlu takut dengan hujan ubah pikiranmu bahwa yang menghentikan langkahmu bukanlah hujan namun rasa takutmu yang tak pernah mengerti tentangnya. Berjalanlah dengan RahmatNya karena hujan adalah Rahmat yang tak pernah kita sadari sebelumnya. Ikhlas seperti hujan yang turun, hanya untuk membasahi bumi yang gersang dan karena hujan yang mampu mendatangkan pelangi”

A Story of cantigi’s firs Giveaway