Hujan 18 Juni
Menjadi Saksi
Dik, jika saja aku memiliki sayap, akan ku ajak
kau terbang, bila perlu kuberikan sayap itu padamu.
Aku hanya memiliki dua tangan
untuk meminta padaNya agar langit tak lagi gelap hingga menutupi
senyummu.
Hujan
semalam yang berubah menjadi tetesan embun pagi menyambut kedatangan mentari.
Ponselku berdering, oh aku hampir lupa hari ini tanggal 18 juni. Doa serta
ucapan selamat tak henti-hentinya terucap pada pesan singkat yang memenuhi
memory ponselku. Ini adalah hari di mana berkurangnya usiaku. Namun tampak
terlihat seorang gadis sedang menagis.
Ku
hampiri lalu usap air matanya. Wajahnya pucat matanya sembab tak kudengar
ucapan ataupun do’a darinya yang ku dengar hanya tangis terisak-isak, 18 juni
tahun lalu dia yang paling sibuk mencari kado dan memberi kejutan untukku. Ku
lihat awan dari balik jendela kamarnya mentari mulai terhalang oleh awan hitam
tebal rupanya jam masih menunjukan pukul 7 pagi. Ada apa dengan mentari tak
ingin berlama-lama berbincang dengan Bumi? Tangisnya masih terisak-isak. Gadis
ini memelukku dengan erat tangisnya tak bisa meluluhkan hati dan prinsip Ayah
yang keras. Ya semalam terjadi perdebatan hebat gadis yang menangis
terisak-isak itu adalah Adik perempuan ku Amalia. Suara Ayah dapat mengalahkan suara derasnya
hujan.
“Ayah
tidak mahu tahu. Kamu harus kuliah di Universitas Negeri” adikku bersikukuh dengan keinginannya
memasuki Universitas dambaannya sejak SMA namun kerasnya Ayah tak mampu dicegah
dengan musyawarah. Ibu hanya terdiam pasrah apapun keputusannya.
Hujan
semakin deras. Malam mulai larut dinginpun datang teras menusuk tubuh, teh
hangat buatan ibu mendadak menjadi dingin seperti es.
“Ayah akan berangkatkan kamu ke semarang untuk kuliah di
sana bersama adik sepupumu” tetesan air
mata gadis pemilik kulit hitam manis itu mulai deras seperti hujan di luar
sana.
ayah menatapku, aku hanya tertunduk tak kuasa membaca sorot
matanya tubuhku mulai menggigil entah karena dinginnya hujan atau karena
tatapan ayah.
Aku terus memberikannya
pengertian bahwa pilihan ayah adalah yang terbaik untuknya kelak. Ia tetap tak
terima dengan keputusan ayah.
“ Aku tidak ingin ke Semarang Kak, Aku hanya ingin mengembangkan bakat dan
hobbyku itu saja” ungkapnya dengan nada tegas namun dalam keadaan terisak.
“Aku tidak ingin ke Semarang” ungkapnya sekali lagi.
Aku tahu hobimu memasak dan Aku tahu keinginanmu menjadi
Chef sudah melekat. Maafkan Aku dik, Aku tak bisa berbuat apa-apa. Andai kau
tahu bahwa Ayah mencintaimu.
“Baiklah Dik, jika Kamu tidak ingin ke Semarang satu-satu
jalan kita harus mencari Universitas Negeri di Bandung”. untuk ayah yang
terpenting Universitas Negeri. Beberapa Universitas Negeri Bandung sudah
menutup penerimaan Mahasiswa Baru . Awan
hitam tebal menjadi pemeran utama rupanya pagi ini cahaya mentari perlahan tersingkir.
Kuputar otak hingga urat syaraf di kepala terasa hampir putus, Allah sudah memberi petunjuk atas Do’aku,
mengingatkanku pada kawan semasa SMA ia mahasiswa di salah satu Unversitas
Negeri bandung. Ah dingin mulai menghampiri padahal ini baru jam 9 pagi tapi terasa
seperti dingin di malam hari. Mungkin hujan akan turun pagi ini dan 18 juniku akan di temani olehnya...tak
mengapa yang ku tahu hujan adalah berkah dan hujan adalah RahmatNya
Kini usiaku bukan
kanak-kanak lagi yang bisa berlari-lari dalam rintik atau derasnya hujan,
menjadikannya sahabat bermain tak takut dengan rasa dingin yang menggigil. Masa itu telah berlalu kini, setiap hujan datang aku bersembunyi dibalik
selimut dan mantel yang tebal dan hanya bisa memandangnya di balik jendela
tanpa ada cerita. 18 juni ini aku akan kembali membuat cerita dengan rintikan
hujan yang mulai membasahi perjalanan ku
dan adik perempuanku. Langkah kami tak seperti biasanya kini yang kami tuju
bukan taman atau tempat-tempat liburan lainnya. Namun sebuah Universitas Negeri
yang akan kami ikhtiari... rintik hujannya seakan menyapa kami adikku Amalia sudah
mengerti dengan keputusan ayah walau tidak sehati dengannya rasa ikhlas yang
akan ia jalani nanti. Bismillah
Hujan semakin
lebat.. laju motorpun terhenti tepat di depan kedai teh dan kopi si ibu tua
yang sudah banyak dikerumuni oleh mereka yang berteduh sejak tadi. Ibu tua itu
menawarkan teh hangat pada kami, 2 gelas teh hangat di buatnya.
“Kita pulang atau lanjutkan saja?” tanya gadis yang sudah
mulai belajar ikhlas menerima keadaan.
“Lanjutkan hingga hujan usai” kawan semasa SMAku sudah menunggu
sejak tadi. Beruntung aku tepat waktu saat menghubunginya Ia menjadi panita
menerimaan Mahasiswa Baru syarat dan ketentuan sudah ia berikan padaku tersisa
3 hari kesempatan itu. tidak ada perpanjangan waktu lantas jika tidak segera
maka kesempatan itu akan jatuh pada orang lain yang berjuang saat hujan datang
dan saat itu juga kami pergi untuk menemuinya.
Ku genggam tangan
adikku yang sudah membeku ku usap lalu
ku tiupi. Ada do’a yang ku ucapkan bersamaan air hujan yang mengelir membasihi
rerumputan dan daun-daun rindang. Tak nampak senyum pada gadis ini hanya kabut
tebal yang terlihat dari wajahnya... Ia bersandar pada pundakku entah apa yang
ia pikirkan? Aku hanya berharap ada keajaiban datang , mendatangkan senyum pada
wajah manisnya.
Tangannya menyentuh
air hujan seperti sudah berkawan sejak lama, ia menarik tanganku untuk
melakukan hal yang sama wajahnya
menengadah matanya terpejam entah harapan apa yang ia katakan pada butiran air
yang ku yakini sebagai RahmatNya. Senyumnya sudah mulai terlihat seperti
pelangi diantara reruntuhan hujan.
Usiaku kembali pada 12 tahun silam berlari-lari diatara ribuan hujan
hingga canda gurau tercipta dengan gadis pemilik senyuman manis. Beberapa
pasang mata tertuju pada kami. Dua orang perempuan kakak beradik menari-nari
dengan hujan pada 18 juni. Oh ini kenangan terindah dan kado istimewa di hari
berkurangnya usiaku.
Hujan pada 18 juni ini menjadi saksi, saksi perjuangan kami
. Dik, Aku menaruh harapan besar padamu agar kelak jika kau di terima menjadi
mahasiswa di Universitas Negeri ini Kau bisa membuktikan pada ayah dan ibu
bahwa Kau bisa mewujudkan cita-citamu. Tanamkan ikhlas pada hatimu meski sulit
aku yakin kau bisa melewatinya.
1 bulan berlalu kado istimewaku telah terbungkus rapi dengan
cerita hujan pada delapan belas juni lalu. Berita gembira telah sampai padaku
Amalia Nurhidayatus solihah Diterima pada Fakultas Manajemen Ilmu Sosial dan
Politik surat pemberitahuan itu telah ku
terima. Ucap syukurku disetiap hela nafas padaNya Yang Maha pengasih dan Maha
Penyayang. ayah terlihat gembira pendaftaran di Semarang segera di batalkan
olehnya.
Hujan yang mengiringi
langkahku dan langkahmu adalah sahabat, sahabat yang mengerti tentang apa yang
memang harus kita jalani nanti. Tak perlu takut dengan hujan ubah pikiranmu
bahwa yang menghentikan langkahmu bukanlah hujan namun rasa takutmu yang tak
pernah mengerti tentangnya. Berjalanlah dengan RahmatNya karena hujan adalah
Rahmat yang tak pernah kita sadari sebelumnya. Ikhlas seperti hujan yang turun,
hanya untuk membasahi bumi yang gersang dan karena hujan yang mampu mendatangkan
pelangi”
“A Story of cantigi’s
firs Giveaway”